Hasil bukan patokan kesuksesan

Home Opini Hasil bukan patokan kesuksesan
dilemma

Pulang dari ibadat Jumat Agung, tugas pasio, buka komputer, baca-baca artikel, lihat kesuksesan orang lain, terus nulis dikit ah, ya daripada vakum isi blog ini.

Hmmm jadi gini, masyarakat sekarang banyak yang menilai “hasil” bukan “proses”. Padahal menurut saya proses itu lebih penting terhadap kepuasan hidup.

Misal seorang anak A yang mendapat nilai 9 mungkin akan sering dipuji daripada anak B yang mendapat nilai 7. Padahal, mungkin saja sebelumnya si anak B itu mendapat nilai 4, sedangkan si anak A mendapat nilai 8.
9 > 7 ? oke, benar… tapi apakah 9-8 > 7-4 ? Nope!


Banyak orang melihat keberhasilan pekerjaan seorang muda dari gajinya, ehem katakanlah 2jt, dan saat melihat orang lain bergaji 10jt, org muda tersebut kadang down, iri, dengki, (eh yg terakhir ga selalu ding).

Namun, saya bilang, janganlah beriri hati untuk jatuh, namun beriri hatilah untuk berkembang. Mungkin mereka bergaji tinggi, karena orang tuanya yang sudah punya koneksi/kedudukan penting, atau mungkin karena  memang usahanya yang keras dengan mengorbankan berbagai macam hal, atau juga hanya karena “beruntung”.

Secara alamiah, seorang lulusan segar (fresh graduate) tidak akan mendapat gaji lebih dari 2jt per bulan (di Jogja lho), sekali lagi itu secara alamiah. Gaji pertama saya di sebuah sekolahan negeri sebagai karyawan honorer hanya 150rb. Yap betul 150rb, hanya dapat sekitar 75 gelas es dawet. Dan saat itu saya masih harus bolak-balik Tempel Sleman Utara – Janti Sleman Timur menggunakan motor Hond* Legenda (Honda nya saya sensor ndak nanti dikira ngiklan).

Bulan ketiga saya jadi guru honorer bergaji 240rb/bln. Tiga setengah tahun mengajar, saya beralih profesi – dengan status gaji terakhir 600rb – sesuai bidang keilmuan saya (programming) di sebuah perusahaan swasta berbasis asing. Saya langsung saja mau, ditawari gaji 4x lipat lebih dari gaji terakhir saya mengajar. Saya bertahan di perusahaan tersebut hampir 3 tahun dengan gaji 2x lipat lebih dari gaji yg saya terima pertama kali di perusahaan tsb. Kemudian berpindah ke sebuah rumah sakit pemerintah, ya itung² mari mulai mengabdi kepada negara, sudah cukup mengabdi pada orang asing. Gaji saya? ups ndlosor dab, turun drastis hingga hampir separuhnya. Dan itu masih saya tekuni hingga sekarang.

Nah ada teman yang begitu lulus langsung punya banyak duit, gajinya 2 digit jutaan gitu deh, baru setahun kerja langsung nikah, (saya aja belum nikah sampai saat tulisan ini dibuat, soon my friend.. soon☺). Iri? kadang, namun memang dia anak seorang yg sukses, punya banyak koneksi, saya mah cuman modal awak thok (ga mau menyebut modal dengkul, lha wong saya kerja juga mikir je, ga cuman pake dengkul). Namun saat saya merasa iri, saya ingat lagi perjalanan karir saya, hmmm mungkin itu salah satu alasan saya menulis ini. Dan akhirnya saya akan merasa bahwa proses yg saya jalani sudah lebih dari cukup untuk membuat saya bangga.

Nah, kalian pun harus begitu, jangan utamakan hasil, tapi jalanilah prosesnya. Saya bilang pada adik saya yg masih kuliah, janganlah kejar nilai (seperti pengalaman saya dulu, nilai? bagus banget, klo mau tau IPK saya, PM aja ya, soalnya ga penting juga) namun kejarlah ilmu dan pengalaman. Kelak saya pun ingin mengajari anak² saya bahwa

Nilai/hasil hanyalah sebuah syarat kelulusan/kenaikan tingkat, namun proses adalah syarat dari kesuksesan/keberhasilan hidup.

Ingat, sukses itu relatif lho.  So enjoy your life, at every moments.

Tulisan ini murni opini saya, tidak ada tujuan untuk menyinggung pihak manapun, anda pun boleh beropini kok…

Leave a Reply

Your email address will not be published.