Alasan pegawai instansi pemerintah (PNS) kurang berkualitas

Home Opini Alasan pegawai instansi pemerintah (PNS) kurang berkualitas
hardlabour
Belum lama ini saya membaca tulisan seseorang yang tersebar melalui media sosial, yang berjudul “Kenapa Orang Terbaik Pergi Meninggalkan Perusahaan?“. Sebenarnya saya pernah membaca artikel kutipan aslinya yang berbahasa Inggris. Pada intinya artikel tersebut ingin mengatakan bahwa, kebanyakan pegawai resign karena hubungan yang kurang baik dengan atasannya, atau atasan atasannya, atau bisa juga yang teratas dari atasannya.

Saya membaca sambil manggut-manggut. Bener juga kali ya. Walaupun ga sepenuhnya sih. Tapi memang biasanya, walaupun kita tidak punya masalah personal dengan atasan, terkadang kebijakan atasan/pimpinan perusahaan juga berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan resign atau tidak.

Instansi Pemerintah juga merupakan “perusahaan” yang dikelola oleh pemerintah. Jika sesuai dengan artikel di atas bahwa banyak orang terbaik pergi meninggalkan perusahaannya (di Indonesia), maka secara implisit dapat disimpulkan bahwa tersisa pegawai yang kurang berkualitas yang “loyal” terhadap perusahaan/instansi. Lho, bukannya PNS adalah tujuan banyak lulusan akademi (demi) mendapat masa depan yang “aman cerah”? Sedangkan setelah menjadi PNS, resign adalah suatu keputusan yang amat sangat jarang diambil?

Berarti bisa ditarik kemungkinan kesimpulan bahwa beberapa PNS terbaik menurunkan kualitas dirinya untuk tetap bertahan. Seperti kata rekan kerja saya, kalau bisa dilakukan tiga hari kenapa harus diselesaikan dalam satu hari.

Tapi tidak semua PNS begitu lho, masih ada pegawai yang benar-benar loyal dan berkualitas, tapi sedikit. Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Apa yang salah dengan manajemen instansi pemerintah kita? Yang pertama menurut saya adalah borokrasi, ya borokrasi. Birokasi yang terlalu berbelit-belit. Contoh, untuk mengadakan koneksi internet untuk sebuah instansi pemerintah. Prosesnya dimulai dari proposal pengajuan anggaran kemudian pengajuan lelang/tender, belum lagi banyak “permainan” sub-kontrak, setelah itu masih menunggu proses pemasangan. Proses untuk pengadaan jaringan internet fiber optik senilai 250juta butuh waktu lebih dari 3 bulan, padahal dananya sudah siap. Bandingkan dengan perusahaan swasta, yang mungkin dapat diselesaikan kurang dari 1 bulan. Imbasnya, seorang programmer yang menunggu diberikannya koneksi internet untuk mendukung pekerjaan ngoding, harus menunggu 3 bulan lebih. Otomatis, kesulitan lambat berkurang, kreativitas sirna, kualitas menurun.

Aturan yang kurang fleksibel juga turut menyumbang proses penurunan kualitas pegawai. Aturan dibuat untuk mendisiplinkan pegawai. Namun ada yang belum mampu dipahami oleh banyak pimpinan instansi mengenai tipe profesi. Ada dua tipe profesi, yaitu tenaga terlatih dan tenaga ahli. Posisinya setara, namun perlakuannya seharusnya berbeda. Tenaga terlatih sudah seharusnya disiplin, karena mereka punya job-desc dan target yang jelas dan repetitif. Misalnya petugas pajak yang setiap hari bertemu dengan para wajib pajak. Sedangkan tenaga ahli seharusnya lebih diberi kebebasan lingkungan kerja dengan tuntutan capaian target, bukan kedisiplinan kehadiran, misalnya para ilmuwan di LIPI. Programmer/desainer juga merupakan tenaga ahli, karena setiap hari kasus yang mereka hadapi bisa berbeda. Mereka dituntut lebih kreatif untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Nah aturan yang kurang fleksibel ini yang membuat banyak anak negeri pintar yang akhirnya beralih ke swasta bahkan luar negeri. Simak saja kasus Ricky Elson dengan mobil listrik Selo dan penemuan hebat lainnya. Percaya atau tidak, kreativitas akan muncul saat kita merasa nyaman di lingkungan kerja kita. Bahkan seorang penulis terkadang harus pergi ke tempat yang terpencil untuk mencari inspirasi bukan?

Yang terakhir, hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas PNS di negeri kita adalah minimnya “penghargaan”. Ya, jujur tenaga ahli di instansi pemerintah dihormati namun kurang dihargai secara benar. Tidak munafik, standar gaji tenaga ahli untuk instansi pemerintah masih minim. Pernah ada celotehan teman saya seorang programmer di instansi pemerintah, “Wah mas, ning kene programmer gajine podo karo buruh bangunan” – Di sini gaji programmer sama seperti tukang bangunan. Kampret!!! Anakku sesuk rasah dadi programmer!! Di swasta atau perusahaan luar negeri yang melek IT misalnya memberikan bonus saat proyek selesai, merupakan motivasi untuk berkembang, yang tidak didapat di instansi negeri. Ning negeri kui pokoke ora bakal kaliren, iso mangan, ning yo cukup ngono thok!

Terus bagaimana solusinya? Ya saya serahkan kepada penggede-penggede di sana. Saya cuman rakyat jelata yang beropini. Saya yakin mulai dari pilihan menteri oleh Pak Jokowi, tenaga ahli akan semakin dihargai. Dan diberikan lingkungan kerja yang nyaman.

Bagi saya, kualitas muncul dengan banyaknya kreativitas. Kreativitas muncul saat rasa nyaman dan aman di sekeliling kita.

Tetap semangat, dan tetap berkarya. Jangan biarkan kreativitas itu luntur.

hardlabour
www.financialpost.com

Leave your comment to Cancel Reply

Your email address will not be published.